Jumat, 02 Desember 2011

Misteri Terpisahnya Sumatara- Jawa-Kalimantan

 
 
 
 
 
 
1 Vote
Sampai saat ini para ahli geologi telah mempercayai teori bahwa pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan adalah satu kesatuan dataran yang disebut Sunda Besar. Pemisahan Jawa dan Sumatera diyakini adalah akibat gerakan lempeng Bumi atau karena letusan Gunung Krakatau.
Selama ini beberapa opini yang menyebutkan pemisahan Jawa dan Sumatera karena letusan Krakatau biasanya mengacu pada Pustaka Raja Purwa, yang ditulis pujangga Jawa, Ronggowarsito, pada tahun 1869. Dalam tulisan itu dikisahkan, letusan Gunung Kapi adalah menjadi penyebab pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera. Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi. Gunung Kapi yang disebutkan itu belakangan diketahui sebagai Gunung Krakatau
Peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico), Ken Wohletz, termasuk yang mendukung tentang kemungkinan letusan besar Krakatau purba hingga memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera. Dia membuat simulasi tentang skenario letusan sangat hebat yang terjadi puluhan ribu tahun lalu.
Melalui penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi memastikan bahwa Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat. Menurut legenda (Pustaka Raja Purwa) itu pembentukan Selat Sunda tidak mungkin karena sebuah letusan tunggal besar. Menurut Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sannders seperti yang ditulis dalam Volcanoes in Human History, 2002, setidaknya ada dua periode letusan besar di Krakatau, tetapi itu sekitar ratusan bahkan ribuan tahun lalu, tidak pada tahun 416 Masehi.
Walaupun pencatatan Ronggowarsito tentang waktu letusan masa lalu Krakatau diragukan ketepatannya, pujangga ini barangkali benar soal “pemisahan” Pulau Jawa dengan Sumatera yang berkaitan erat dengan letusan Krakatau. Namun, pemisahan Jawa dan Sumatera sepertinya bukan karena letusan Krakatau. Sebaliknya, Krakatau terbentuk karena pemisahan kedua pulau ini sebagai produk gerakan tektonik di dalam Bumi.
Beberapa ahli memperkirakan pemisahan Jawa dan Sumatera terjadi karena gerakan tektonik. Pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam Bumi.
Pulau Jawa bergerak ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan Pulau Sumatera bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan 7 cm per tahun. Proses ini menyebabkan Pulau Sumatera bergerak ke arah utara dan meninggalkan Pulau Jawa sehingga membuka kerak Bumi di Selat Sunda. Sumatera telah berputar sekitar 40 derajat dibandingkan Jawa. Jelle Zeilinga dan Donald Theodore menyebutkan, separuh dari putaran ini terjadi dalam waktu dua juta tahun. Perputaran ini menyebabkan adanya perenggangan di antara dua pulau, menjadi jalan bagi batu yang meleleh, atau magma, untuk keluar di sepanjang zona rekahan Krakatau, sehingga membentuk tubuh gunung ini dari dasar laut.
Energi Dari Bumi
Letusan gunung api pada prinsipnya terjadi sebagai bentuk penyaluran energi dari bawah Bumi yang dikumpulkan oleh gerakan lempeng Bumi. Selain berupa letusan gunung api, energi ini juga bisa dilepaskan dalam bentuk gempa bumi. Letusan gunung api dan gempa bumi biasanya saling mengisi. Di Sumatera, energi dari gerakan lempeng lebih banyak disalurkan dalam bentuk tingginya intensitas gempa di sepanjang Sesar Besar Sumatera. Kondisi ini menyebabkan di Sumatera tidak ada lagi letusan gunung api yang berskala besar.”
Letusan supervolcano Toba yang mengubah Bumi, terakhir terjadi sekitar 74.000 tahun lalu. Saat itu, mungkin sesar besar Sumatera kondisinya tidak seaktif sekarang sehingga akumulasi energinya dilepaskan dalam bentuk letusan gunung api Toba. Namun di Pulau Jawa, intensitas gempa darat relatif sedikit dibandingkan Sumatera. Namun, letusan gunung apinya relatif lebih sering. Energi yang dikumpulkan dari tumbukan lempeng kebanyakan disalurkan dalam bentuk letusan gunung karena sesar darat di Jawa tidak ada yang besar.
Krakatau yang berada di titik engsel antara Pulau Jawa dan Sumatera menjadi unik. Ditambah lagi dengan keberadaan lautan yang mengelilingi pulau gunung api ini, Krakatau menjadi sangat berbahaya. Jika terjadi kebocoran dan air laut menembus ke dalam Bumi hingga mendekati kantong magma yang mendidih, letusan besar bisa terjadi. Padahal, jika terjadi letusan besar, kemungkinan terjadinya tsunami juga sangat tinggi.
Kemunculan kembali Anak Krakatau dari dalam laut pada tahun 1930-an, setelah letusan besar pada Agustus 1883 dan menghancurkan nyaris seluruh tubuh pulau gunung api ini, menandakan aktivitas tektonik yang menyuplai magma terus terjadi. Proses-proses yang mengarah pada kejadian bencana tahun 1883 tidak bisa dihentikan. Selama proses subduksi atau penunjaman lempeng masih terjadi, selama itu pula pasokan energi dan magma ke Krakatau masih akan terus terkumpul.
Belajar dari letusan Krakatau tahun 1883, tsunami yang terjadi menyusul letusan gunung api bisa lebih mematikan. Tinggi gelombang dan jangkauan tsunami akibat letusan gunung api juga tak kalah tinggi dibandingkan dengan jika tsunami disebabkan gempa tektonik. Tsunami Krakatau mencapai ketinggian 30-40 meter di sepanjang pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung.
Tsunami yang disebabkan letusan Krakatau tahun 1883 merupakan salah satu yang terbesar yang pernah diperbuat gunung api, sehingga para ahli berlomba untuk mengkaji penyebab terjadinya tsunami tersebut. Bencana tahun 1883 menimbulkan tsunami dan banyak korban di Selat Sunda lebih banyak orang meninggal bukan karena luka bakar.
Faktor Penyebab
Sampai sejauh ini penyebab munculnya tsunami pasca aletusan Krakatau masih belum diketahui secara pasti mekanismenya. Faktor penting tsunami akibat letusan gunung krakatau tersebut dapat disebabkan oleh runtuhan. Setelah material letusan dilontarkan ke atas, kemudian jatuh ke bawah. Jatuhnya material ke laut inilah yang diduga membentuk tsunami. Penyebab lain tsunami adalah letusan Krakatau dapat menyebabkan terjadinya cekungan di dalam laut. Air laut masuk mengisi ke dalam kaldera dan kemudian membalik ke luar menjadi gelombang tsunami.
Longsoran gunung api ke arah tertentu (debris avalanche) saat meletus, material letusan keluar dari samping tubuh gunung sehingga menimbulkan longsoran yang menyebabkan tsunami. Secara teori tsunami Krakatau bisa disebabkan karena awan panas yang masuk ke bawah laut. Naiknya suhu air laut secara tiba-tiba akibat limpahan awan panas ini menyebabkan terjadinya perubahan tekanan sehingga memicu terjadinya gelombang tsunami. Tsunami Krakatau disebabkan awan panas. Bedanya, awan panas tidak masuk ke dalam air, tetapi merambat di atas permukaan air laut. Rambatan awan panas inilah yang memicu gelombang tsunami. Hipotesis ini dikuatkan kesaksian warga Katimbang yang terbakar awan panas. Awan panas itu merambat di atas air laut, sambil merambat juga memicu tsunami.
Krakatau Purba
Sebelum erupsi Gunung krakatau yang sangat dahsyat pada tahun 1883 ternyata terdapat periode erupsi yang lebih dahsyat lagi, yaitu erupsi Krakatau Purba. Menurut beberapa ahli terjadi beberapa periode erupsi letusan gunung Krakatau, yaitu erupsi Krakatau Purba, Erupsi Gunung Krakatau dan erupsi Anak Krakatau. Gunung Krakatau sudah beberapa kali menimbulkan tsunami saat meletus. Catatan pujanngga Jawa, Rongowarsito, juga menyebutkan, sekitar tahun 416, Krakatau purba meletus hebat dan mengirim tsunami hingga jauh ke pedalaman Lampung dan Pulau Jawa. Bahkan diduga letusan Krakatau Purba tersebut memisahkan pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan yang dulunya adalah satu daratan.
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba yang diambil dari sebuah teks Jawa Kuno Rangga Warsita yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula…. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera
Krakatoa evolution map-fr.gif 
Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.
Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
Krakatau
Walaupun masih jadi kontroversi, tsunami yang menerjang pasca-letusan Krakatau telah disepakati sebagai faktor pembunuh terbesar saat gunung ini meletus pada tahun 1883 dan menewaskan 36.000 jiwa. Melihat dinamika ini, tsunami merupakan faktor penting yang harus dilihat dalam memitigasi Anak Krakatau yang saat ini tumbuh cepat dan membentuk tubuh gunung menyerupai leluhurnya, Krakatau.
Anak Krakatau tumbuh di tengah bekas letusan Krakatau, 1883. Pada tahun 2008, diameter Anak Krakatau telah mencapai 4 kilometer dengan ketinggian 273 meter. Simulasi letusan dan tsunami dengan skenario runtuhnya tubuh gunung Krakatau guna melihat potensi terjadinya tsunami berdasarkan diameter dan ketinggian gunung saat itu. Lewat simulasi itu, dalam waktu 45 menit sebagian besar gelombang telah mencapai pesisir di sekitar Selat Sunda dan masuk ke Laut Jawa. Gelombang paling tinggi sekitar 9 meter menimpa Ujung Kulon. Sementara di sepanjang Anyer, Carita, dan Labuan, ketinggian gelombang 4 meter hingga 7 meter. Gelombang pertama yang mencapai lokasi-lokasi tersebut dalam waktu 28-60 menit. Di pesisir Sumatera, ketinggian gelombang 1,5 meter hingga 4 meter dan gelombang pertama yang mencapai pantai dalam waktu 18-66 menit.
Dalam simulasi itu terlihat betapa ketinggian gelombang dan waktu tempuhnya, terutama di barat Jawa, berpotensi menghancurkan dan menelan korban jiwa. Mitigasi terhadap tsunami bagi penduduk di pesisir pantai sekitar Selat Sunda menjadi keharusan. Apalagi daerah-daerah tersebut kini padat permukiman dan kegiatan perekonomian warga.
Gunung Krakatau sudah beberapa kali menimbulkan tsunami saat meletus. Catatan pujanngga Jawa, Rongowarsito, juga menyebutkan, sekitar tahun 416, Krakatau purba meletus hebat dan mengirim tsunami hingga jauh ke pedalaman Lampung dan Pulau Jawa.
Sumber : wikipedia, kompas dan berbagai sumber lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar